Wednesday, June 16, 2010

"Short way"

Seorang Bapak paruh baya datang ke ruanganku. Bertanya tentang mekanisme bagaimana jika ingin mengundurkan diri sebagai mahasiswa. Ternyata beliau adalah orangtua salah satu mahasiswa di kampus ini. Aku menjelaskan singkat tentang prosedur yang perlu dilakukan. Sampai pada akhir penjelasan, sang Bapak mengatakan ingin ‘curhat’ tentang sesuatu. Kemudian, sambil menunjukkan satu lembar transkrip nilai, sang Bapak bertanya (aku merasakan cenderung lebih kepada meminta/memohon), agar pihak kampus bersedia untuk memberi nilai pada beberapa mata kuliah yang belum ditempuh. Sangat ringan beliau mengatakan, “anggap saja sebagai kenang-kenangan dari pihak kampus kepada anaknya”. Upsssssssssss…. :((((

Dikatakan terkejut, mungkin tidak terlalu. Coz, melihat gerak-geriknya, radar intuisiku sudah merasakan kalau yang bersangkutan ini punya maksud tertentu dari hanya sekadar bertanya tentang prosedur. Dan situasi seperti ini, bukan kali pertama, juga kali kedua aku hadapi. Baik mahasiswa ataupun orangtua mahasiswa, dalam beberapa kasus menunjukkan ada indikasi ingin penyelesaian masalah dengan gaya ‘short way’. Budaya yang semakin digemari oleh sebagian besar masyarakat kita. Ingin mendapatkan hasil terbaik, dengan cara yang sesingkat mungkin. Bahasa lain yang biasa digunakan adalah menghalalkan berbagai cara, atau berpikir instan.

Menjawab pertanyaan sang Bapak..aku tersenyum, sekaligus miris dalam hati. Ada apa di benak Bapak ini. Apa yang mendorong beliau untuk berusaha dengan cara seperti ini? Apa Bapak ini datang dengan insiatif sendiri? Atau karena desakan dan dorongan anak? Yang jelas, sang Bapak hanya datang sendiri, tanpa sang anak. Menempuh perjalanan dari luar kota, untuk niat yang sungguh sangat disayangkan, yaitu mengajak lembaga untuk berbohong, mencantumkan nilai untuk mata kuliah yang sama sekali belum ditempuh oleh anaknya. Aku perlu memberikan penekanan pada jawabanku beberapa kali, untuk kemudian baru membuat beliau (mungkin) mengerti bahwa hal semacam itu tidak bisa kami fasilitasi.

Well..well…tampaknya “short way’ semakin digemari. Pikiranku pun jadi tidak bisa dicegah untuk meluaskan perspektif kejadian siang kemarin pada banyak kasus di negeri ini. Sudah rahasia umum… mau jadi PNS, ada jalan pintas dengan cara menyuap orang yang punya “link”, atau langsung ke pejabat yang punya wewenang dan otoritas. Mau jadi Pemimpin, tebar amplop berisi uang, permintaan halus ‘pilih aku’. Ingin kasus cepat selesai, sogok aparat dengan rupiah. Ingin tak perlu bayar pajak, dekati petugas pajak, imingi sejumlah uang, urusan dijamin lancar. Tak ingin dihukum karena kesalahan, suap hakim dan jaksa. Ingin dapat ijazah tapi gak mau susah-susah belajar, bayar ongkos untuk terbitnya ijazah palsu.

Layaknya hukum permintaan dan penawaran dalam ilmu ekonomi, karena ‘short way’ semakin digemari, maka permintaan untuk penyelesaian di ‘belakang meja’, pun semakin meningkat juga. Bahkan kadang, pelayaan publik disetting seakan-akan mempermudah, padahal hanya kemasan ‘short way’ dengan imbalan tertentu. Apapun bentuknya, sampai dengan saat ini aku masih melihat semuanya berawal dari niat yang tidak baik, lalu didukung dengan adanya kesempatan. Kesempatan karena bertemu dengan orang-orang dengan niat yang sama, berkonspirasi, kemudian saling bantu. Perlahan…niat tak elok dengan perilaku yang tidak jujur pun menjadi terlembagakan, kuat, mengakar, dan menjadi hal yang ‘biasa’….

Berharap deman ‘short way’tidak semakin akut. Kupikir perlu adanya ketegasan sistem dan komitmen yang konsisten untuk mematuhi aturan yang sudah dibuat. Bahwa aturan berlaku sama untuk siapapun. Ruang untuk sikap fleksibel tetap diperlukan, karena tidak semua permasalahan dapat diselesaikan dengan cara berpikir hitam putih. Namun, fleksibel ini jangan dimakani sebagai ruang untuk tawar menawar keadilan. Pada akhirnya, kebajikan hati, niat baik, kejujuran, dan keberanian untuk tetap berpihak pada yang benar…adalah modal untuk menahan lajunya berkembang cara berpikir ‘short way’ yang salah kaprah. Semoga kita tetap kuat hati untuk menjadi bagian dari yang baik, bukan yang tidak baik. Amien...

Keep hoping.. :)

1 comment:

  1. Kasian si Bapak, Tanpa disadari Si Bapak tersebut Secara tidak Langsung mengajari anak-nya untuk "Mewajarkan" dan "Membenarkan" Cara yang dilakukannya :(

    ReplyDelete