Thursday, June 9, 2011

Hollaaa! Glad to see you again!

You know…
butuh keberanian untuk menyengaja bertemu kembali denganmu. Ada yang aneh dengan pertemuan terakhir kita. Sejak terakhir aku melihatmu, dalam kurun waktu tertentu, ingatan ku tentangmu telah menyandera ruang emosiku. Aku bahkan menangis tersedu-sedu, mengingat saat tragisnya kamu pergi, dan bertanya-tanya pada hatiku, apakah aku akan bisa bertemu lagi denganmu dalam suasana hati yang tak lara.

Kita tak bertemu sering. Mungkin tak lebih dari tiga puluh tatap muka. Tapi pada pertemuan-pertemuan terakhir jelang perpisahan, sosokmu mulai menyandera kuat ingatanku. Sikap misteriusmu, tatapan yang tajam tapi gamang, keceriaan yang jujur dan polos, juga ketakutanmu atas rasa terbuang… Apa yang tersirat dari sosokmu, telah perlahan menarik perhatianku untuk lebih memperhatikanmu dibanding yang lain.

Kamu mudah berurai air mata. Ah, aku tak bermaksud menyebutmu lelaki cengeng. Bukan…bukan itu maksudku. Aku mengerti, bahwa penggal masa lalumu telah menyumbang banyak sisi kerapuhan bagi hatimu. Ya, perasaan ‘terbuang’ membuatmu jiwamu dipaksa siaga, meragu, penuh tanya akankah sekeliling mengabaikan dan mengingkarimu kesetianmu?. Kepercayaan dirimu yang rapuh, telah membuatmu sulit untuk mempercayai orang lain. Hingga satu waktu, kamu gagal untuk mempercayai, lalu terperangkap dalam tragisnya perpisahan. Hal yang bisa kuingat adalah bahwa kejadian demi kejadian berpacu begitu cepat. Kamu bahkan mungkin tak menyadari ketika sedang melangkah pada jurang kegagalanmu sendiri. Sampai ketika hatimu menyadari kebenarannya, semua sudah terlambat. Bagimu tak ada jalan untuk kembali, kecuali terus menghadapinya. Aku bersedih, sungguh bersedih untuk apa yang kau alami.

Pertemuan terakhir begitu menguras emosi. Secara personal aku menemukan diriku semakin terlibat dalam kisahmu. Butuh waktu bagiku untuk menyeimbangkan hatiku. Ingatan tentang saat-saat kau tersungkur, berjuang sepenuh hati mencoba menuju ke tempat dimana kau menemukan kepercayaan itu tetap menyala untukmu, saat-saat kau tak bisa menolak bahwa perpisahan telah menjadi TAKDIR yang tak dapat kau hindari…. lambaian tanganmu yang melemah…lalu hilang…sunyi…senyap…pergi… yang terdengar kemudian hanyalah tangisku yang pecah. Sejak itu, aku memilih untuk tidak bertemu denganmu, sampai dengan kemarin malam…

Ya, kemarin malam aku tak menolak untuk bertemu.

Terakhir bertemu, kamu terlihat rapi dengan rambut panjang yang seringkali diikat, juga kumis tipis yang seakan-akan menegaskan “I’am mature”. Kali ini kamu muncul dengan rambut yang lebih pendek (tetap tergolong panjang), dengan kumis yang lebih tebal. Aku pernah mendapatimu tanpa kumis, membuatmu terlihat lebih “childish”, apalagi dengan tingkah lakumu yang sering jahil. Aku masih menangkap aura kesuraman di wajahmu. Hal yang tak berubah adalah seringai senyummu, tatapan sendu, cara berjalanmu, lirikan tajam...

selebihnya, kamu tetap istimewa…

bandung, 9 Juni 2011