Tuesday, December 21, 2010

My struggle one...

Oktober tahun lalu, telpon pada satu pagi membuat hati ku kecut. Suara papa terdengar tegas dan singkat “segera pulang ke Belitung!. Kita tidak jadi bertemu di Bangka, mama kurang sehat”. Hatiku berdesir. Ini bukan instruksi biasa. Jika mengacu pada rencana, besok mama papa akan berangkat ke Bangka, dan aku menyusul satu hari kemudian langsung dari Bandung. Kami akan bertemu di acara silaturahim keluarga pelepasan saudara terkasih menuju tanah suci. Moment yang kutunggu-tunggu karena akan bertemu sanak keluarga.

Pagi itu, suara papa di seberang menyiratkan ‘sesuatu’ terjadi. Aku tak bisa menahan kegelisahan, dan ingin semuanya lebih jelas bagiku. Aku menelpon balik, minta tolong disambungkan kepada mama. Jeda sesaat, terdengar suara di seberang…… dan air mataku tumpah seketika. Papa mengambil alih telpon, menegaskan singkat ‘mama kena stroke, stroke ringan’. Oke..semua jelas. Aku dan kakakku diam sesaat, mengolah semua informasi yang mengejutkan ini, dan memutuskan segera pulang. Kuhubungi teman untuk mengurus tiket, kami langsung bersiap.

Setelah menempuh perjalanan Bandung-Jakarta, Jakarta-Belitung, sekitar pukul 4 sore kami tiba di rumah. Beberapa kerabat dan teman dekat keluarga tampak di teras ketika kami tiba. Semua seperti sedang menunggu kami. Begitu masuk kamar, mendapati sosok mama terkulai tak berdaya di tempat tidur…kuberitahu teman, itu bukan situasi yang mudah bagiku. Aku sudah berjanji pada diriku untuk sekuat mungkin tidak menangis, tapi aku kalah….

Inilah masa-masa di mana kami saling menguatkan sebagai satu keluarga. Semua terpukul, tetapi kami memilih untuk tak terpuruk. Saling memahami satu sama lain, kami semua sepakat bahwa mama harus tetap diajak bergembira. Untuk cepat beradaptasi dengan semua situasi ini, rumusnya hanya satu yaitu “menerima”. Satu persatu dari kami berusaha mendidik keras diri kami untuk legowo dan menerima semua apa adanya. “Penerimaan” ini terutama harus kami bangun dalam hati mama. Karenanya, setiap kali mama menangis menyadari sebelah tubuhnya tak berfungsi, aku memegang tangannya, kuletakkan di dadanya bersamaan dengan tanganku, kubisikkan lembut ke telinganya ‘terima…terima semuanya mama. Dengan penerimaan itu, maka Tuhan akan menguatkan mama”.

Kini, Desember 2010, mama telah dalam masa pulih yang semakin membaik. Sudah bisa berbicara, berjalan, memasak, dan jalan-jalan. Proses ini telah menjadi penguat untuk kami semakin tegar dan optimis. Bagi kami, mama selalu menjadi inspirasi tentang ketegaran dan keberanian. Ada banyak masa-masa sulit yang telah dilalui kami sebagai satu keluarga, dan mama selalu menjadi orang yang sigap dan tangguh dalam menjawab semua tantangan persoalan. Mama penuh kasih. Tak peduli berapa kali telah dibuat kecewa, dia tetap hadir dengan maafnya yang luas. Mama luar biasa karena dia adalah seseorang yang memilih menjadi ‘ibu’ bagi kami, bukan bertindak sebagai pemilik kami. Mama selalu menemani kami dengan doa dan harapan baiknya atas kami. Terima kasih Tuhan, telah memberi seorang mama yang luar biasa bagi kami…

Mama…
my struggle one.
I love you, we love you…

Selalulah berbahagia mama,
Tuhan mencintaimu.
Amin.

Selamat Hari Ibu,
22 Desember 2010